Cerpen: Aku dan Ragaku
Karya: M. Yusuf Zaini
Langit sore mulai melunturkan warna cerahnya dan lampu jalananpun mulai menunjukkan pernak-pernik cahaya pijarnya. Suara indah itupun mulai terdengar. Orang-orang berjalan meghampiri suara itu. Kulihat anak-anak juga ikut berlarian menuju suara indah itu.
“Pak…, mau kemana orang-orang dan ada apa dengan suara itu…?”, sapaku pada seorang yang melintas.
“O iya Dek, orang-orang ingin bertemu dengan pemilik raganya dan suara itu adalah suara panggilan dari Tuhan mereka”, jawab seseorang padaku.
“Sang pemilik raga…?,” tanyaku dalam hati.
“Seakan terdengar asing memang, karena aku tidak seutuhnya adalah aku, didalam tubuhku ada ragaku, lalu siapa yang memiliki ragaku…?”
“Senja…, apakah kau berpikir yang sama denganku…?”
Senja, ukiran itu mengingatkan ku pada Nya. Aku merasa sedih wahai senja…, ntah bagaimana aku harus mengungkapkan ini semua. Perjalanan panjang ini telah aku lalui. Rasa letih dan lelah sudah tak lagi dapat aku nikmati. Mereka telah bersatu seakan menjadi pupuk perjalananku.
Aku masih tetap menatap senja sore, menatap masa depan yang aku sendiri gak tahu dimana dan mau kemana aku melangkah. Penuh tanda tanya…?, siapa aku saja, akupun gak tahu.. “aneh…, ya memang aneh”. Terkadang rasa ingin tahuku cukup besar untuk menemukan siapa aku yang sebenarnya. Aku merasa kalau aku hanya sebuah fatamorgana yang sebentar lagi hilang ditelan kegelapan malam.
Sore ini begitu indah, berbeda dari sore yang biasanya ku nikmati. Awan – awan berkumpul seakan meberikan teka-teki yang harus aku selesaikan. Pertanyaan itu semakin menghantuiku ntah bagaimana aku harus menyelesaikannya.
“Hai senja…, haruskah kau diam seperti itu…?”
“Aku selalu menanti jawaban indah darimu, sampai kapan kau akan terdiam…?”
“Apa kau menunggu hingga horizon itu pergi…?, kurasa kau lupa akan ucapanmu kala itu.”
Aku mencintaimu, katamu selirih angin sore. Namun aku takut ketika aku membuka mata dan kamu tak lagi ada. Kelak akan ada sore yang begitu sepi bagiku, satu persatu kenangan mulai ku ingat, dan tersenyum ketika giliranmu lewat. Aku akan selalu menantimu dan akan selalu ada untukmu. Selamat datang malamku, selamat jalan rinduku, hanya itu yang selalu ku ucap saat senja berlalu dari langitku.
Senja, andai aku dapat memelukmu, kan kuceritakan semua kepahitan ini padamu. Senja, coba katakana padaku..!, apakah kau dapat mengatakan sesuatu untuk menghibur diriku. Senja aku ingin membelaimu, ku ingin merasakan kehangatan bersamamu, ku ingin merasakan keindahan ini denganmu, ku ingin menghabiskan waktu ini bersamamu.
Langit sore kian memudar, tapi ku tak kunjung mendengar sepatah kata pun keluar dari mu. Jika sore ini adalah sore terakhir kita bersama apakah kau akan tetap diam membisu. Begitu sulitkan kah untuk mengatakannya, apakah perlu aku mengajarkanmu cara untuk berbicara. Senja, terkadang cahayamu memanjakan mataku namun terkadang cahayamu melukai mataku, apakah kau tau jawabannya senja...?. senja terkadang aku berpikir bahwa kau bukanlah seutuhnya senja dan kau tidak sendirian, kau memiliki malam dan siang. Namun apakah kau pernah bertemu malam dan siang wahai senja.
Senja jika kau pernah bertemu dengan malam dan siang, coba ceritakan padaku bagaimana rasanya memiliki di saat kita sendirian, saat kita tak tahu ingin melanjutkan perjalanan ini, saat mata dan hati kita tak lagi bersama, saat kegelapan mulai mendominasi raga ini. Tapi jika kau tak pernah bertemu dengan malam dan siang tolong ajarkan padaku bagaimana caranya untuk menerima dan ikhlas akan semua takdir ini.
Perjalanan ini masih terus berlajut hingga pada malam yang kelam aku tak lagi dapat merasakan kehadiranmu, yang ku tahu kau sudah pergi menjauh dariku. Suara itu tak lagi terdengar, cahaya itu tak lagi terlihat, hembusan angin malam begitu dingin hingga menusuk relung hatiku.
“hei…, siapa kau berjalan sendirian ditengah gelapnya malam…?, tanya seorang padaku”,
Langkah kaki itu semakin jelas terdengar ditelingaku, ‘srek…srek…srek’, suara itu semakin jelas, ia semakin mendekatiku. Tanpa berbasa-basi mataku tetap fokus berjalan kedepan, gelisah dan ketakutan brcampur aduk menjadi satu, sambal bertanya-tanya “mau apa dia…?, mengapa ia mendekatiku…?, apa urusanku padanya…?”.
“hei…, mengapa kau diam saja…?, budek ya …?, apa kau gak dengar barusan aku manggil kau…?, teriak dia sambil memukul bahuku”.
“aku hanya terdiam, menunduk, dan gak tahu mau mengatakan apa”.
“ayo kau ikut saja denganku, gak baik malam-malam berjalan sendirian, kau masih muda jagalah kesehatanmu!”.
Langkah kaki ini sejenak terhenti, memilih untuk melanjutkan perjalanan yang aku sendiri gak tau harus kemana atau mengiyakan penawaran dari seorang yang sama sekali aku gak kenal.
Posting Komentar