Cerpen: Perjuanganku Belum Usai, Pesawatku Akan Segera Mendarat

 


Goresan kertas itu tertulis sebuah nama yang bukan diberikan oleh orang tua kandungnya (melainkan oleh seorang bidan) Nofendra Putra Deska adalah nama yang disematkan untuknya. Sontak ternyiang di telingaku saat ini, nama itu memiliki makna yang sukar untuk dimengerti. Entah darimana asal katanya, aku pun tak tahu. Tapi setidaknya satu hal yang kutahu, bahwa garis takdirku telah termaktub di Lauh Mahfuz. Sebenarnya bukan makna nama itu yang menjadi permasalahannya, tapi bagaimana aku membuat nama itu menjadi lebih bermakna. Acap kali aku merenung apa sebuah nama berperan penting dalam takdir? Ataukah tergantung pilotnya? Semu adalah kata yang menggambarkan situasiku kala itu. Mengapa tidak? Aku selalu ingin melakukan yang terbaik di setiap scene kehidupan yang aku lakoni. Satu saja mistake terkadang sedikit memberikan pressure.

Kepala selalu berkecamuk memikirkan apa, bukan mengapa. Apa yang menyebabkan banyak dari perjuangan bermuara pada kegagalan? Meski kata orang kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Banyak momen yang membuatku tidak percaya, kegagalan menyertai kehidupan layaknya peran pembantu dalam sebuah pertunjukan. Aku jadi ingat kata seseorang: Semuanya tidak perlu dipikirkan, jalan, bergegas, kerjakan, lalu antisipasi penyebab kegagalan selanjutnya.

18 tahun adalah waktu yang lama bagi seorang anak manusia mengarungi bahtera kehidupan. Kenyamanan adalah kata yang membelenggu di dalam zona yang tercipta. Baju besi itu langsung kupakai seketika setelah mengetahui akan ada beban berat yang akan kusandang ke depannya. Sebagai anak tertua dari 6 bersaudara bukan hal yang mudah untuk diperankan, banyak sorak-sorai yang menjatuhkan, intimidasi yang menyudutkan, gonjang-ganjing yang menyakitkan. Namun lagi-lagi aku harus bisa mengangkat batang yang telah lama terendam (kian lapuk pun busuk).

Fajar menyingsing, mata terbelalak, ayam berkokok. Tepat hari dimana aku lulus dari Aliyah, bingung tujuh keliling. Mau kerja belum ada pengalaman, mau kuliah tak ada biaya. Titik rendah dimana keadilan Tuhan mulai kupertanyakan. Tapi lagi-lagi Tuhan menunjukkan kekuasannya kepada anak manusia ini, dengan ikhtiar memasukkan berkas-berkas achievement kepada pihak penyelenggara beasiswa diiringi doa yang teramat kuat dari kedua orang tua, Allah tidak menangguhkan tapi langsung mengabulkan. Rasa syukurku naik berkali-kali lipat seketika itu, momen kali kedua aku menginjakkan kaki di tanah jawa (yang sebelumnya pernah mengikuti pertukaran pelajar se-Indonesia di jakarta). Singkat cerita hari pertama membuatku gugup hingga mati rasa sebab tak ada saudara apalagi teman yang kukenal sebelumya. Saat itulah kaki kanan mulai melangkah, satu langkah didepan kaki kiri. Perjuangan sebenarnya baru saja kumulai sebagai mahasiswa, kata orang: Maha-nya para siswa. Tak luput sedikitpun dalam benakku saat mereka tahu aku berhasil masuk ke universitas impianku, tangisku pecah sambil memeluk Sang Bunda, tawa mengiringi tangis kala itu. Mereka menjadi tempat kehangatan dan kegembiraan bagiku, sangat tidak keren sekali jika aku tidak mengukir senyum di kedua ujung bibir mereka. Aku ingin sekali mempersembahkan sebuah mahakarya terbesarku kepada mereka, sehelai kertas yang berisi bukti kelulusanku.

Wahai malaikat yang berwujud manusia, aku tak akan lupa pesan yang senantiasa kau sampaikan kepadaku malam itu: fokus belajar, ukir prestasi, perbanyak relasi, temukan jati diri, gapailah mimpi-mimpi. Fokus tidak serta-merta selalu melihat ke depan, sesekali kita perlu melihat ke balakang agar kita tahu cara bersyukur bahwa hadirmu saat ini adalah berkat Sang Ilahi. Malam panjang yang kuhabisi dengan Sang Ayah perihal obrolan sesama lelaki yang sesekali memabuat jantungku berdegup kencang tidak seperti biasanya, kau mengatakan dengan nada lirih tepat di depan mukaku: “Nak, kau harus bisa membuat batang pohon yang tenggelam bangkit lagi kedaratan dan berdiri kokoh”. Kau harus mengubah paradigma orang-orang yang mencemooh keluargamu lewat prestasi, bukan dengan cara mengucilkan mereka apalagi membuat kedudukan menjadi satu sama. Setiap cemoohan cukup jadikan batu loncatan, jangan jadikan gencatan. Aku bersumpah, air mata yang dulu terjatuh karena orang lain, akan jadi air mata kebahagiaan bagi keduanya saat hari kelulusanku.

Ada banyak hal yang kukagumi dari malaikat itu, mereka tak pernah menuntutku harus jadi seperti ini atau seperti itu. Pertanyaan yang seringkali keluar dari lisan mereka adalah tentang ibadahku: Sudah salat? Sudah makan? Menjadi asupan yang kusantap setiap harinya saat jauh dari rumah. Sungguh tak kuasa menahan rintihan air mata saat pertanyaan itu keluar, di tanah ini, di tepian kota Jakarta, aku berazam bahwa keduanya akan kubahagiakan. Kerinduan terhadap suasana rumah sesekali membuatku kalah, begitu lemahnya menahan rasa terhadap keduanya. Aku yakin, mereka ingin aku menjadi pilot yang kuat untuk mendaratkan pesawat ini.

Kepercayaanmu kepadaku membuatku tersenyum semringah. Kau percaya aku bisa menghadapi hantaman petir yang menyambar, terjangan badai yang menghantam, ganasnya alam yang sulit diajak kerja sama. Tidak pernah khawatir aku tersesat, tidak juga khawatir pesawatku salah mendarat, sebab engkau percaya jika aku dapat mengatasi semuanya. Terima kasih bu, terima kasih pak, sudah membetukku menjadi pilot yang hebat.

Terpaan kegagalan tak membuatku mudah berhenti. Perjuanganku belum usai, kepercayaan itu yang akan terus mengiringi perjalananku. Ada hari yang membuatku merasa tidak baik-baik saja, rasanya ingin usai, aku tidak lagi sanggup mengerjakan puluhan paper yang terdiri dari ribuan kata ilmiah. Namun kesadaran kembali memgetuk relung hati, mengingatkanku akan rintihan air mata dan derai keringat yang jatuh berguguran. Aku akan mengusap air matamu bu, aku akan mendinginkan peluh keringatmu pak. Sebab setiap aku terjatuh dalam jurang yang sama, air matanya selalu terbayang dibenakku dan keringatnya mengangkasa dipikiranku. Ingin rasanya kusampaikan saat ini juga bahwa mimpiku semakin dekat, aku ingin kalian menyaksikan mahakarya terbesar yang kupersembahkan untuk kalian si pemberi kehangatan. Janjiku pada keduanya selalu bergema, tunggulah waktu saat nanti kertas putih yang tergores namaku akan berubah menjadi kertas yang bertuliskan maskapai penerbangan. Kalian akan menyaksikan pemindahan tali togaku. Akan kuusap air mata yang pernah terjatuh kala itu.